Warna
merah yang mencolok mata, bentuk bangunan setengah lingkaran menyerupai rumah adat minangkabau dan di
dalam ruangan terapat lilin serta memiliki relief naga adalah beberapa ciri
khas klenteng pada umumnya. Hal ini juga terdapat pada Klenteng Hian Thiang Siang Tee atau yang sering
disebut oleh warga sekitar dengan nama Klenteng Welahan, karena terdapat di
Desa Welahan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Kurang lebih berjarak 24 km
kearah selatan dari Kota Jepara Klenteng Welahan ini berdiri. Berdekatan dengan
Kabupaten Demak dan berada dipusat perekonomian, yaitu daerah Pecinan Welahan
samping Pasar Welahan.
Tidak semegah Klenteng Sam Poo Kong dengan altar yang besar,
ramai dikunjungi wisatawan, dan tersohor di Indonesia, Klenteng Welahan yang
hanya seperempat bagian dari luas Klenteng Sam
Poo Kong ini didirikan sekitar tahun 1600-an. Sejarah Klenteng Welahan
dimulai pada tahun 1830 dimana Gubernuer Jendral Belanda yaitu Johanes Graaf Van Bosh berkuasa di
Indonesia, datanglah seorang Tionghoa bernama Tan Siang Boe. Kepergian ke Indonesia bukan menacari kitab suci
bagaikan Biksu Tong dalam perjalanannya bersama Kera Sakti tapi untuk mencari
kakaknya yang bernama Tan Siang Djie.
Sewaktu berangkat dari Tiongkok bersama satu perahu dengan seorang Tasugagu (pendeta) dimana Tasu tersebut telah bersemedi di
pertapaan dari paduka Kaisar Hian Thian
Siang Tee. Tasu tersebut mengalami jatuh sakit, dengan rasa kesetiakawanan Tan Siang Boe menolong dengan beberapa
ramuan yang dibawanya.
Sang Tasu mendarat di Singapura, sebelum kepergiannya untuk mengucapkan
terimakasih kepada Tan Siang Boe atas
pertolongannya, Tasu tersebut
memberikan benda-benda kuno yaitu sehelai Sien
Tjang “kertas halus” bergambar Paduka atau Kaisar Hian Thian Siang Tee, Sebilah Po
Kiam “pedang Tiongkok”, satu Hio Lauw
“tempat abu” dan satu jilid Tjioe Hwat
“buku pengobatan dan buku ramalan”. Setelah sesampainya di Jepara tepatnya di
Welahan di rumah Liem Tjoe Tien
tempat tinggal Tan Siang Djie, Tan Siang
Boe bertemu dengan saudaranya. Benda-benda tersebut selanjutnya disimpan
diatas loteng rumah dan rumah itu sampai sekarang dipergunakan untuk tempat
menyimpan pusaka kuno “Klenteng” sebagai tempat pemujaan dan dihormati oleh
setiap orang Tionghoa yang mempercayainya.
Berdirinya Klenteng welahan ini terdiri dari dua lokasi
yaitu disebelah utara merupakan tempat bersemayam Dewa Langit (Hian Thian Siang Tee) dan di
sebelah selatan bersemayam Dewa Bumi. Klenteng yang memiliki hiasan dua ekor
naga dan dua ekor ikan (patung) diatapnya sebagai simbol kemakmuran ini
memiliki arca berbentuk kilin dan pada pintu dihiasi dua orang jendral. Didalam
ruangan Klenteng dapat dilihat oranamen bunga, Burung Hong dan Kilin. Klenteng
juga memiliki ruang depan dengan pembakar uang kertas berbentuk Pagoda. Altar
utama berada diruang utama, Lampu dan lilin terus menyala dan tiang pengapit
altar berhias ular naga sedang memuntahkan mutiara kedalam altar.
Klenteng yang berdiri ditengah pemukiman mayoritas beragama
Islam ini tidak memiliki acara khusus, selain pergantian lilin yang sudah
memeleh menjadi habis. Tak seperti Klenteng lain yang berlomba-lomba bersolek
memperantik diri pada perayaan Imlek atau tahun baru masyarkat Tionghoa, tetap seperti
biasa saat Imlek tiba kegiatannya hanya bersembahyang yang memang kegiatan
sehari-hari dilakukan dan tidak lupa untuk mengganti lilin yang sudah habis.
Tetapi terdapat satu hari dimana klenteng ini akan sangat sibuk dan dipadati
masyarakat etnis Tionghoa maupun masyarakat setempat. “Mereka ada yang datang
sendirian naik motor, namun banyak pula yang datang dengan mobil membawa
rombongan keluarga mereka. Selain dari Jepara, Kudus, Semarang mereka juga datang
dari kota-kota diseluruh pulau Jawa bahkan ada juga yang datang dari luar Jawa”
ujar Suwoto (41) pengurus Klenteng. Hari yang sibuk tersebut berada pada
tanggal 3 bulan ketiga kalender China sebagai hari ulang tahun Klenteng Welahan
untuk menghormati Hian Thian Siang Tee
yang dianggap dewa penguasa cuaca. Perayaan itu masyarakat setempat lebih
sering menyebutnya dengan nama Cengbeng.
Toleransi beragama yang ada dimasyarakat sangat tinggi
dengan diperlihatkan oleh masyarakat setempat tanpa adanya gangguan dalam
perayaan Cengbeng ini. Mayoritas
masyarakat pribumi menikmati pertunjukan yang ada dan dijadikan sebuah hiburan
adat. Cengbeng memang terjadi sangat
meriah tetapi juga sakral, karena adanya kirab barongsai, tarian naga,
ondel-ondel dan reog. Dibilang sakral karena dalam perayaan Cengbeng juga adanya kirab dewa-dewa
dengan ditandu mengelilingi daerah sekitar dengan diiringi musik khas Thionghoa.
Ini dilakukan agar daerah sekitar Klenteng diberi keberkahan dan kemakmuran.
“Sebelum dikirab dewa-dewa kami letakkan ditempat peribadatan dan pengunjung
yang melewatinya lalu bersembahyang, kemudian para dewa menerima sesaji,” ucap
Suwoto.
Saat perayaan HUT Klenteng selesai keadaannya kembali
seperti sedia kala kembali, hilang sudah hiruk-piruk yang pernah terjadi.
Suasana tidak diramaikan lagi oleh Klenteng melaikan dengan suara pedagang dan
pembeli yang ada dipasar karena pasar Welahan berdampingan dengan Klenteng. Hal
lain yang dilakukan oleh pengunjung yang datang ke Klenteng selain
bersembahyang yaitu meminta ramuan obat untuk penyembuhan. Bukan hanya dari
etnis Tionghoa saja melaikan masyarakat pribumi yang bergama Islam maupun
Kristen juga ada yang berdatangan untuk meminta ramuan pengobatan. “Orang yang
berdatangan kesini (Klenteng) tidak hanya bersembahyang saja namun ada juga
meminta petunjuk, seperti beberapa waktu lalu petani semangka dari Bungo Demak
datang kesini (Klenteng) mohon petunjuk untuk hari baik tanam semangka,
beberapa waktu kemudian mereka datang lagi dan membawa semangka besar-besar
yang katanya hasil panen mereka”, kata Suwoto dua puluh tahun lebih mengurus
Klenteng Welahan. Keberadaan Klenteng juga digunakan untuk memohon jodoh, maju dalam
usaha dan ramalan nasib.
Terdapat beberapa
versi tentang sejarah Klenteng Hian Thian
Siang Tee, tetapi dari semua versi mengacu kepada cerita Tan Siang Boe. Kepastian cerita Klenteng
ini belum ada yang meneliti secara mendalam. Akan tetapi, keterangan
satu-satunya pusaka Tiongkok pertama kali di Indonesia adalah yang dibawa oleh Tan Siang Boe yang tersimpan di Welahan.
Ada perkataan bahwa Keberadaan Klenteng Welahan ini tertua di Indonesia karena
alasan pusakanya dan ada juga yang beranggapan Klenteng ini tertua dikarenakan
Klenteng Dewa langit pertama di Indonesia. Sebagai generasi selanjutnya
diharapkan tetap menjaga dan merawat
keberadaan situs budaya yang ada tidak hanya untuk menikmatinya saja.